Dalam khasanah referensi kebudayaan
Jawa dikenal berbagai literatur sastra yang mempunyai gaya penulisan beragam
dan unik. Sebut saja misalnya; kitab, suluk, serat, babad, yang biasanya
tidak hanya sekedar kumpulan baris-baris kalimat, tetapi ditulis dengan seni
kesusastraan yang tinggi, berupa tembang yang disusun dalam bait-bait
atau padha yang merupakan bagian dari tembang misalnya; pupuh, sinom,
pangkur, pucung, asmaradhana dst. Teks yang disusun ialah yang memiliki
kandungan unsur pesan moral, yang diajarkan tokoh-tokoh utama atau penulisnya,
mewarnai seluruh isi teks.
Dalam ajaran Budi Pekerti,
terdapat dua bentuk ancaman besar yang mendasari sikap kewaspadaan (eling
lan waspada), karena dapat menghancurkan kaidah-kaidah kemanusiaan, yakni; hawanepsu
dan pamrih. Manusia harus mampu meredam hawa nafsu atau nutupibabahan
hawa sanga. Yakni mengontrol nafsu-nafsunya yang muncul dari sembilan unsur
yang terdapat dalam diri manusia, dan melepas pamrihnya.
Dalam perspektif kaidah Jawa,
nafsu-nafsu merupakan perasaan kasar karena menggagalkan kontrol diri manusia,
membelenggu, serta buta pada dunia lahir maupun batin. Nafsu akan memperlemah
manusia karena menjadi sumber yang memboroskan kekuatan-kekuatan batin tanpa
ada gunanya. Lebih lanjut, menurut kaidah Jawa nafsu akan lebih berbahaya
karena mampu menutup akal budi. Sehingga manusia yang menuruti hawa nafsu tidak
lagi menuruti akal budinya (budi pekerti). Manusia demikian tidak dapat mengembangkan
segi-segi halusnya, manusia semakin mengancam lingkungannya, menimbulkan
konflik, ketegangan, dan merusak ketrentaman yang mengganggu stabilitas
kebangsaan
Untuk menjaga kaidah-kaidah manusia
supaya tetap teguh dalam menjaga kesucian raga dan jiwanya, dikenal di dalam
falsafah dan ajaran Jawa sebagai lakutama, perilaku hidup yang utama.
Sembah merupakan salah satu bentuk lakutama, sebagaimana di tulis oleh
pujangga masyhur (tahun 1811-1880-an) dan pengusaha sukses, yang sekaligus Ratu
Gung Binatara terkenal karena sakti mandraguna, yakni Gusti Mangkunegoro IV
dalam kitab Wedhatama (weda=perilaku, tama=utama) mengemukakan sistematika yang
runtut dan teratur dari yang rendah ke tingkatan tertinggi, yakni catur
sembah; sembah raga, sembah cipta, sembah jiwa, sembah rasa. Catur
sembah ini senada dengan nafsul mutmainah (ajaran Islam) yang digunakan
untuk meraih ma’rifatullah, nggayuh jumbuhing kawula Gusti. Apabila
seseorang dapat menjalani secara runtut catur sembah hingga mencapai
sembah yang paling tinggi, niscaya siapapun akan mendapatkan anugerah agung
menjadi manusia linuwih, atas berkat kemurahan Tuhan Yang Maha Kasih,
tidak tergantung apa agamanya.
Demikian lah makna dari ajaran Budi Pekerti yang
sesungguhnya, dengan demikian dapat menambah jelas pemahaman terhadap
konsepsi pendidikan budi pekerti yang mewarnai kebudayaan Jawa. Hal ini dapat
diteruskan kepada generasi muda guna membentuk watak yang berbudi luhur dan
bersedia menempa jiwa yang berkepribadian teguh. Uraian yang memaparkan nilai-nilai
luhur dalam kebudayaan masyarakat Jawa yang diungkapkan diatas dapat membuka
wawasan pikir dan hati nurani bangsa bahwa dalam masyarakat kuno asli pribumi
telah terdapat seperangkat nilai-nilai moralitas yang dapat diterapkan untuk
mengangkat harkat dan martabat hidup manusia.
Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit. Vivamus suscipit, augue quis mattis gravida, est dolor elementum felis, sed vehicula metus quam a mi. Praesent dolor felis, consectetur nec convallis vitae.
Post a Comment